MENCIPTAKAN PESERTA DIDIK YANG BERBUDAYA LUHUR, SANTUN, BERKUALITAS, BERIMAN, BERTAQWA, BERILMU PENGETAHUAN DAN MENGUASAI TEKNOLOGI YANG SIAP MENGHADAPI TANTANGAN GLOBAL.
a.Siswa belum tanggap terhadap berkembangnya era globalisasi yang semakin cepat
b.Siswa membutuhkan tempat untuk mengembangkan minat dan bakat
c.Siswa memerlukan bimbingan untuk menjadi anak yang berakhlak mulia, disiplin dan memiliki jiwa kepeminpinan
II.Pengertian
Dewan anak adalah suatu organisasi yang beranggotaakan siswa sekolah dasar sebagai wahana untuk menampung dan mengembangkan kreatifitas siswa di SD No. 1 Kuta
III.Tujuan
a.Sebagai sarana melatih siswa dalam berorganisasi agar memilki jiwa kemandirian dan kepemimpinan
b.Sebagai wahana menampung dan mengembangkan kreatiftas siswa
c.Memupuk kepribadian siswa agar menjadi siswa yang disiplin, berakhlak mulia serta menguasai IPTEK
d.Melatih siswa agar tanggap terhadap perkembangan globalisasi
e. Tanggap terhadap lingkungan
IV.Program Kerja
a.Kegiatan Upacara Agama
b.Kegiatan Upacara Bendera /Pramuka
c.Dokter kecil/UKS
d.Majalah dinding
e.Pertunjukan bakat dan kreatifitas seni
f.Lingkungan Hidup
V.Kepengurusan
a.Keanggotaan dari siswa kelas 3 – 5 yang mendapatkan peringkat 1 sampai 5
Di era globalisasi saat ini, dunia dikatakan tanpa batas. Segala sesuatu dapat kita akses dengan mudah tanpa membutuhkan waktu lama dan biaya mahal. Semua yang dinginkan hampir telah tersedia, termasuk salah satunya adalah kebutuhan akan layanan informasi. Informasi tersebut diperoleh melalui berbagai media elektornik maupun media massa.
Media informasi yang paling pesat mengalami perkembanngan adalah media elektronik, beragam jenis media elektronik beredar di masyarakat misalnya, radio, TV, Internet, HP, dan bentuk elektronik lainnya yang kian menjamur.
Televisi salah satu media informasi yang kita perlukan, seakan televisi hampir sama kedudukannya dengan pakaian, makanan, atau pun rumah. Tanpa televisi di rumah, kita seakan buta tanpa bisa melihat perkembangan informasi.
Namun perlu diketahui bahwa televisi disamping memiliki peranan yang penting dalam kehidupan, juga berdampak negatif bagi penontonya. Banyak ditemukan tayangan televisi yang kurang tepat disaksikan, terutama kalangan anak-anak. Kadang sesuatu yang tidak pantas dinikmati anak-anak begitu bebasnya ditayangkan. Tayangan tersebut tidak membedakan usia penontonya, meskipun ada peringatan ”Tayangan ini untuk 17 tahun ke atas” namun tetap saja itu adalah tayangan yang bebas untuk ditonton.
Akhir-akhir ini stasiun televisi begitu marak menayangkan program yang tidak masuk akal, yang begitu jauh dari daya nalar manusia. Misalnya saja, sebuah tayangan film, tokoh berubah menjadi makhluk aneh yang mengalahkan setan, kemudian tayangan yang menampilkan adegan mesra, ada lagi tayangan yang menyulap anak-anak menjadi orang dewasa, bahkan seusia anak SD memerankan peran orang yang sedang jatuh cinta.
Dari tayangan tersebut, pernahkah kita berfikir akan dampak yang diakibatkan? Masih ingatkan dengan kasus “Smack Down (Gulat Bebas)” . Berapa anak yang telah menjadi korban ? Seorang anak meniru adegan tersebut, membanting temannya hingga patah tulang bahkan ada yang meninggal.
Itu baru satu dampak tayangan saja, bagaimana dengan tayangan lain? Misalnya tayangan sinetron. Tayangan sinetron selama ini yang menampilkan adegan yang kurang edukatif bagi perkembangan jiwa anak. Disadari atau tidak bahwa sinetron tersebut secara tidak langsung meracuni jiwa anak-anak. Ini dibuktikan dari prilaku anak-anak yang meniru pola tingkah laku, dan meniru gaya bicara dari pemainnya. Misalnya, anak-anak seusia SD kelas tiga sudah bisa berkata tentang cinta, atau berkata yang kurang sopan, seperti “gua, lo, brow” bahkan umpatan “bangsat” dan lain sebagainya sering terujar dari bibir anak-anak.
Tayangan yang paling sering adalah tayangan infotaiment yang setiap jam hadir di layar kaca. Tayangan ini mengulas sekitar dunia selebriti atau artis. Mulai dari masalah karier, pribadi dan sosial selebritis diungkap tuntas, tidak jarang masalah kawin cerai itu sudah biasa menjadi tayangan favorit infotaiment. Tentunya tayangan tersebut akan memberikan dampak yang kurang baik bagi anak-anak kita. Namun bukan berarti tayangan tadi tidak mendidik, ada unsur pendidikannya tetapi seusia anak (ABG) tentunya pola pikir mereka berbeda. Permasalahan ini muncul akibat kurangnya kemampuan anak-anak dalam menyingkapi acara tersebut untuk memilih mana yang positif dan negatif.
Karena begitu menariknya - program tersebut, secara psikologis dampak yang ditimbulkan bagi anak misalnya, anak menjadi malas belajar, sering membangkang perintah orang tua, sering melamun, berperilaku yang aneh, sering mengantuk pada saat belajar sehingga berdampak menurunnya prestasi belajar anak .
Secara fisik akan berdampak pada menurunnya kesehatan anak, terutama mata. Kesehatan mata tidak bagus lagi karena kelebihan menonton televisi.
Anak-anak bagaikan sebuah kertas putih yang masih belum terisi, kalau seandainya mereka dengan bebas menyaksikan tayangan-tayangan tersebut tanpa adanya kontrol dari orang tua bagaimana dengan nasib bangsa kita. Karena sejak dasar mereka telah teracuni dengan hal-hal yang di luar logika. Mereka akan menjadi manusia pemimpi yang penuh dengan hayalan-hayalan.
Sebagai orang tua yang telah lebih dahulu paham akan dampak tayangan-tayangan tersebut hendaknya bersikap tegas pada anak-anak. Cara yang dapat dilakukan adalah dengan membatasi waktu menonton televisi jangan sampai sebagian besar waktu anak-anak hanya menonton televisi saja. Mendampingi anak pada saat menonton sehingga kita dapat mengontrol program televisi, jangan sampai mereka memilih program televisi yang tidak edukatif, disamping itu juga dengan mendapingi anak menonton kita bisa menjelaskan tentang tayangan yang kurang dipahami anak. Dan Mengatur jadwal belajar dengan menonton televisi.
Cara tersebut d iatas tidak akan efektif jika tidak dimulai dari peran orang tua sebagai contoh. Jangan sampai orang tua memberi contoh yang kurang baik misalnya, memilih tayangan yang tidak edukatif ikut ditonton anak-anak. Tapi kenyataannya sering ditemukan kalau orang tua malah mendominasi dalam hal menonton. Jangan heran kalau ibu-ibu rumah tangga sebagian besar senang menggosip, karena mereka dari subuh hingga petang disuguhi tontonan gosip. Tidak jarang ayah, ibu dan anak berebut “ remote control”. Bahkan ada orang tua yang melengkapi kamar tidur anaknya dengan televisi, sehingga anak yang menonton tidak bisa terkontrol. Bagaimana kalau anak tidak bisa memfilter tayangan tersebut, bukankah itu masalah besar?
Begitu besar dampak dari program televisi tersebut. Seharusnya hal ini bukanlah menjadi tanggung jawab orang tua semata tetapi semua pihak. Produser dan stasiun televisi tidak hanya mencari keuntungan semata tetapi bagaimana membentuk moral generasi muda sejak dini.
Sedangkan pemerintah melalui badan perfilman nasional , aktivis pengamat perfilman dan para pemuka agama tidak menutup mata akan hal ini. Semestinya mereka melihat akan bahaya yang sedang mengancam nasib bangsa melalui tayangan televisi yang tidak produktif .
Meskipun tayangan tersebut semua bersifat hiburan semata. Namun berdampak besar bagi perkembangan prilaku anak-anak. Jangan sampai anak-anak menjadi korban lagi tayangan yang tidak bersifat edukatif tersebut.
Guru sebagai pendidik merupakan ujung tombak sebuah bangsa untuk membentuk karakter geberasi penerusnya. Kemajuan sebuah bangsa tergantung dari kemampuan geberasinya dalam mengisi pembangunan. Itu tidak terlepas akan adanya campur tangan dari seorang guru membentuk pola pikir dan kepribadian generasi bangsa.
Di era sekarang ini guru tidak bisa lagi berpangku tangan melihat penomena dalam perkembangan lingkungan yang secara langsung dapat berpengaruh terhadap perkembangan siswa dalam menuntut ilmu di sekolah. Guru diminta peka terhadap semua gejala yang diakibatkan oleh pesatnya kemajuan teknologi dan informasi.
Kita tidak bisa membendung arus globalisasi yang kian pesat, tetapi kita bisa mengantisifasi dengan menanamkan pola pikir yang positif kepada peserta didik. Peserta didik saat ini tanpa kita sadari mereka lebih dulu mengetahui perkemangan teknologi. Segala sesuatu dapat diakses dengan mudahnya. Teknologi tersebut cenderung mengarah ke hal yang negatif. Siswa malas belajar, kebanyakan waktu digunakan bermain-main dengan alat elektronik ” Play station, Internet ,TV dan lain-lain”
Dalam tanda kutif, tidak semua dampaknya negatif akan tetapi ada pula positifnya. Positif inilah yang harus kita cari sebagai bahan dalam mengelola pembelajaran di kelas.
Oleh sebab itu, guru hendaknya memiliki pola pikir untuk merubah model pembelajaran lama mengganti dengan pola yang baru. Pola tersebut selaras dengan perkembangan teknologi dan informasi zaman sekarang. Mampu mengoprasikan media elektronik dalam pembelajaran adalah tuntutan yang harus dipenuhi di zaman sekarang ini.. Selain itu juga dengan memberikan tugas kepada siswa mencari materi di internet termasuk cara yang efektif. Tentunnya banyak hal yang perlu kita gali untuk memanfaatkan kemajuan teknologi dalam mengajar. Mari berusaha mencerdaskan anak bangsa yang ber- IPTEK DAN IMTAK
MAJALAH DINDING ( MADING) SEBAGAI WAHANA KREATIVITAS SISWA
Majalah dinding yang disingkat “MADING” merupakan sarana untuk memajang informasi dan hasil kreativitas seni lainya yang biasanya ditempatkan dengan menempel pada dinding.
Majalah dinding di dunia pendidikan tidaklah asing, ide ini muncul ketika siswa kesulitan untuk memajang hasil karyanya, bagaimana karya itu tidak mengganggu bila dipamerkan, tidak membutuhkan banyak tempat , memiliki nilai seni dan isi dari tempat tersebut bisa diperbarui.
Dari dulu masing-masing sekolah sudah memiliki majalah dinding, namun belum dikelola secara maksimal. Sering ditemukan papan majalah dinding yang kosong atau majalah dinding yang penuh namun isinya sudah lama.
Majalah dinding di sekolah kalau dipandang memang seperti pajangan biasa, akan tetapi bagi siswa itu merupakan kebanggaan apa bila hasil karyanya terpajang. Hal ini mampu menumbuhkan dan merangsang kreativitas siswa untuk berkarya. Hasil karya yang dihargai akan memotivasi siswa untuk mencipta dan berkreasi sesuatu yang baru. Sehingga terjadi kompetisi siswa untuk menampilkan karya terbaiknya.
Agar majalah dinding memiliki pungsi yang maksimal harus dikelola dengan baik. Misalnya :
1.Pemasangannya pada tempat yang strategis, mudah dilihat, terlindung dari panas dan hujan.
2.Pergantian isi secara berkala dengan mengisi tanggal pemasangan pada hasil karya.
3.Informasi atau hasil karya yang ditampilkan menarik.
4.Setiap saat diadakan perlombaan majalah dinding terbaik untuk memotivasi kreativitas kelas.
keberadaan majalah dinding di sekolah sangat membantu guru dalam menggali krativitas siswa.
Karena siswa perlu wahana untuk menyampaikan hasil karyanya. Dalam penilaian di kelas ada komponen bahwa siswa mampu untuk menampilkan, menunjukkan dan memamerkan. Bagian ini bisa kita manfaatkan dalam melakukan penilaian. Jadi beragam maanfaat yang bisa didapatkan dari majalah dinding.
Mari cerdaskan anak bangsa dengan aktif membudayakan majalah dinding di sekolah!
A.Arti penting membangun budaya organisasi sekolah
Pentingnya membangun budaya organisasi di sekolah terutama berkenaan dengan upaya pencapaian tujuan pendidikan sekolah dan peningkatan kinerja sekolah. Sebagaimana disampaikan oleh Stephen Stolp (1994) tentang School Culture yang dipublikasikan dalam ERIC Digest, dari beberapa hasil studi menunjukkan bahwa budaya organisasi di sekolah berkorelasi dengan peningkatan motivasi dan prestasi belajar siswa serta kepuasan kerja dan produktivitas guru. Begitu juga, studi yang dilakukan Leslie J. Fyans, Jr. dan Martin L. Maehr tentang pengaruh dari lima dimensi budaya organisasi di sekolah yaitu : tantangan akademik, prestasi komparatif, penghargaan terhadap prestasi, komunitas sekolah, dan persepsi tentang tujuan sekolah menunjukkan survey terhadap 16310 siswa tingkat empat, enam, delapan dan sepuluh dari 820 sekolah umum di Illinois, mereka lebih termotivasi dalam belajarnya dengan melalui budaya organisasi di sekolah yang kuat. Sementara itu, studi yang dilakukan, Jerry L. Thacker and William D. McInerney terhadap skor tes siswa sekolah dasar menunjukkan adanya pengaruh budaya organisasi di sekolah terhadap prestasi siswa. Studi yang dilakukannya memfokuskan tentang new mission statement, goals based on outcomes for students, curriculum alignment corresponding with those goals, staff development, and building level decision-making. Budaya organisasi di sekolah juga memiliki korelasi dengan sikap guru dalam bekerja. Studi yang dilakukan Yin Cheong Cheng membuktikan bahwa “ stronger school cultures had better motivated teachers. In an environment with strong organizational ideology, shared participation, charismatic leadership, and intimacy, teachers experienced higher job satisfaction and increased productivity”.
Upaya untuk mengembangkan budaya organisasi di sekolah terutama berkenaan tugas kepala sekolah selaku leader dan manajer di sekolah. Dalam hal ini, kepala sekolah hendaknya mampu melihat lingkungan sekolahnya secara holistik, sehingga diperoleh kerangka kerja yang lebih luas guna memahami masalah-masalah yang sulit dan hubungan-hubungan yang kompleks di sekolahnya. Melalui pendalaman pemahamannya tentang budaya organisasi di sekolah, maka ia akan lebih baik lagi dalam memberikan penajaman tentang nilai, keyakinan dan sikap yang penting guna meningkatkan stabilitas dan pemeliharaan lingkungan belajarnya
Dalam budaya organisasi ditandai adanya sharing atau berbagi nilai dan keyakinan yang sama dengan seluruh anggota organisasi. Misalnya berbagi nilai dan keyakinan yang sama tentang kepemimpinan. Menurut Sathe dalam Taliziduhu Ndraha (1997) bahwa shared basic assumptions meliputi : (1) shared things; (2) shared saying, (3) shared doing;dan (4) shared feelings.
Adapun pengertian sharing dalam sekolah organisasi di sini lebih diarahkan dalam pengertian organisasi formal. Dalam arti, kerja sama yang terjalin antar anggota memiliki unsur visi dan misi, sumber daya, dasar hukum struktur, dan anatomi yang jelas dalam rangka mencapai tujuan tertentu.
Edgar Schein (2002) mengemukakan bahwa budaya organisasi dapat dibagi ke dalam dua dimensi yaitu :
Dimensi external environments; yang didalamnya terdapat lima hal esensial yaitu: (a) mission and strategy; (b) goals; (c) means to achieve goals; (d) measurement; dan (e) correction.
Dimensi internal integration yang di dalamnya terdapat enam aspek utama, yaitu : (a) common language; (b) group boundaries for inclusion and exclusion; (c) distributing power and status; (d) developing norms of intimacy, friendship, and love; (e) reward and punishment; dan (f) explaining and explainable : ideology and religion.
B. Proses Pembentukan Dewan Anak SDN 1 Kuta
Selanjutnya, kita akan membicarakan tentang proses terbentuknya dewan anak. Munculnya gagasan yang kemudian tertanam dalam suatu budaya dalam organisasi bisa bermula dari mana pun, dari perorangan atau kelompok, dari tingkat bawah atau puncak, melihat dan mengamati
Potensi siswa setring tidak tergali di level SD karena guru berorientasi pada target pencapaian kurikulum. Dewan anak sebagai wadah mengembangkan potensi akademik maupun non-akademik. Dewan anak kelak menjadi organisasi siwa yang bertugas menjembatani antara kepentingan siswa dan pihak sekolah. Dewan anak diberi peran besar untuk menggelar berbagai kegiatan internal di sekolah.
Setelah berdiskusi dengan pengurus komite dan dewan guru maka dirumuskan tujuan budaya organisasi kecil yang bernama dewan anak. Dewan anak mengabadikan dirinya dalam sejumlah hal: Calon anggota kelompok akan disaring berdasarkan perolehan nilai dari rangking 1-5 dimasing-masing kelas dan pemahaman siswa terhadap budaya organisasi. Anggota organisasi yang baru terpilih akan diberikan pelatihan : dasar-dasar kepemimpinan, penanggung jawab organisasi, kesadaran ramah lingkungan, kedisiplinan, pemahaman bahaya narkoba, dan kenakalan remaja.
C. Pengembangan Dewan Anak di SD 1 Kuta
Dengan memahami konsep tentang pentingnya membangun budaya dewan anak disekolah sebagaimana telah diutarakan di atas, selanjutnya di bawah ini akan diuraikan tentang pengembangan dewan anak di SDN 1 Kuta. Secara umum, penerapan konsep Dewan anak sebenarnya tidak jauh berbeda dengan penerapan konsep OSIS di SMP maupun SMA. Kalaupun terdapat perbedaan mungkin hanya terletak pada jenis nilai dominan yang dikembangkannya dan karakateristik dari para pendukungnya. Berkenaan dengan pendukung budaya organisasi di sekolah Paul E. Heckman sebagaimana dikutip oleh Stephen Stolp (1994) mengemukakan bahwa “the commonly held beliefs of teachers, students, and principals.”
Nilai-nilai yang dikembangkan di sekolah, tentunya tidak dapat dilepaskan dari keberadaan sekolah itu sendiri sebagai organisasi pendidikan, yang memiliki peran dan fungsi untuk berusaha mengembangkan, melestarikan dan mewariskan nilai-nilai budaya kepada para siswanya. Dalam hal ini, Larry Lashway (1996) menyebutkan bahwa “schools are moral institutions, designed to promote social norms,…” .
Dengan merujuk pada pemikiran Fred Luthan, dan Edgar Schein, di bawah ini akan diuraikan tentang karakteristik budaya organisasi di sekolah, yaitu tentang (1) obeserved behavioral regularities; (2) norms; (3) dominant value. (4) philosophy; (5) rules dan (6) organizationclimate.
Obeserved behavioral regularities budaya organisasi di sekolah ditandai dengan adanya keberaturan cara bertindak dari seluruh anggota sekolah yang dapat diamati. Keberaturan berperilaku ini dapat berbentuk acara-acara ritual tertentu, bahasa umum yang digunakan atau simbol-simbol tertentu, yang mencerminkan nilai-nilai yang dianut oleh anggota sekolah.
Norms; budaya organisasi di sekolah ditandai pula oleh adanya norma-norma yang berisi tentang standar perilaku dari anggota sekolah, baik bagi siswa maupun guru. Standar perilaku ini bisa berdasarkan pada kebijakan intern sekolah itu sendiri maupun pada kebijakan pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Standar perilaku siswa terutama berhubungan dengan pencapaian hasil belajar siswa, yang akan menentukan apakah seorang siswa dapat dinyatakan lulus/naik kelas atau tidak. Standar perilaku siswa tidak hanya berkenaan dengan aspek kognitif atau akademik semata namun menyangkut seluruh aspek kepribadian.
Dominant values; jika dihubungkan dengan tantangan pendidikan Indonesia dewasa ini yaitu tentang pencapaian mutu pendidikan, maka budaya organisasi di sekolah seyogyanya diletakkan dalam kerangka pencapaian mutu pendidikan di sekolah. Nilai dan keyakinan akan pencapaian mutu pendidikan di sekolah hendaknya menjadi hal yang utama bagi seluruh warga sekolah. Adapun tentang makna dari mutu pendidikan itu sendiri, Jiyono sebagaimana disampaikan oleh Sudarwan Danim (2002) mengartikannya sebagai gambaran keberhasilan pendidikan dalam mengubah tingkah laku anak didik yang dikaitkan dengan tujuan pendidikan. Sementara itu, dalam konteks Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (Depdiknas, 2001), mutu pendidikan meliputi aspek input, proses dan output pendidikan. Pada aspek input, mutu pendidikan ditunjukkan melalui tingkat kesiapan dan ketersediaan sumber daya, perangkat lunak, dan harapan-harapan. Makin tinggi tingkat kesiapan input, makin tinggi pula mutu input tersebut. Sedangkan pada aspek proses, mutu pendidikan ditunjukkan melalui pengkoordinasian dan penyerasian serta pemanduan input sekolah dilakukan secara harmonis, sehingga mampu menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan (enjoyable learning), mampu mendorong motivasi dan minat belajar, dan benar-benar mampu memberdayakan peserta didik. Sementara, dari aspek out put, mutu pendidikan dapat dilihat dari prestasi sekolah, khususnya prestasi siswa, baik dalam bidang akademik maupun non akademik.
Philosophy; budaya organisasi ditandai dengan adanya keyakinan dari seluruh anggota organisasi dalam memandang tentang sesuatu secara hakiki, misalnya tentang waktu, manusia, dan sebagainya, yang dijadikan sebagai kebijakan organisasi. Jika kita mengadopsi filosofi dalam dunia bisnis yang memang telah terbukti memberikan keunggulan pada perusahaan, di mana filosofi ini diletakkan pada upaya memberikan kepuasan kepada para pelanggan, maka sekolah pun seyogyanya memiliki keyakinan akan pentingnya upaya untuk memberikan kepuasan kepada pelanggan. Dalam konteks Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Depdiknas (2001) mengemukakan bahwa : “pelanggan, terutama siswa harus merupakan fokus dari semua kegiatan di sekolah. Artinya, semua in put – proses yang dikerahkan di sekolah tertuju utamanya untuk meningkatkan mutu dan kepuasan peserta didik . Konsekuensi logis dari ini semua adalah bahwa penyiapan in put, proses belajar mengajar harus benar-benar mewujudkan sosok utuh mutu dan kepuasan yang diharapkan siswa.”
Rules; budaya organisasi ditandai dengan adanya ketentuan dan aturan main yang mengikat seluruh anggota organisasi. Setiap sekolah memiliki ketentuan dan aturan main tertentu, baik yang bersumber dari kebijakan sekolah setempat, maupun dari pemerintah, yang mengikat seluruh warga sekolah dalam berperilaku dan bertindak dalam organisasi. Aturan umum di sekolah ini dikemas dalam bentuk tata- tertib sekolah (school discipline), di dalamnya berisikan tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh warga sekolah, sekaligus dilengkapi pula dengan ketentuan sanksi, jika melakukan pelanggaran.
Organization climate; budaya organisasi ditandai dengan adanya iklim organisasi. Hay Resources Direct (2003) mengemukakan bahwa “oorganizational climate is the perception of how it feels to work in a particular environment. It is the “atmosphere of the workplace” and people’s perceptions of “the way we do things here
Di sekolah terjadi interaksi yang saling mempengaruhi antara individu dengan lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun sosial. Lingkungan ini akan dipersepsi dan dirasakan oleh individu tersebut sehingga menimbulkan kesan dan perasaan tertentu. Dalam hal ini, sekolah harus dapat menciptakan suasana lingkungan kerja yang kondusif dan menyenangkan bagi setiap anggota sekolah, melalui berbagai penataan lingkungan, baik fisik maupun sosialnya. Moh. Surya (1997) menyebutkan bahwa:
Lingkungan kerja yang kondusif baik lingkungan fisik, sosial maupun psikologis dapat menumbuhkan dan mengembangkan motif untuk bekerja dengan baik dan produktif. Untuk itu, dapat diciptakan lingkungan fisik yang sebaik mungkin, misalnya kebersihan ruangan, tata letak, fasilitas dan sebagainya. Demikian pula, lingkungan sosial-psikologis, seperti hubungan antar pribadi, kehidupan kelompok, kepemimpinan, pengawasan, promosi, bimbingan, kesempatan untuk maju, kekeluargaan dan sebagainya. “
Dalam konteks Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS, Depdiknas (2001) mengemukakan bahwa salah satu karakterististik MPMBS adalah adanya lingkungan yang aman dan tertib, dan nyaman sehingga proses belajar mengajar dapat berlangsung dengan nyaman (enjoyable learning)
Daftar Pustaka
Alan Cowling & Philip James. 1996 .The Essence of Personnel Managementand Industrial Relations (terj. Xavier Quentin Pranata). Yogyakarta: ANDI.
CarterMcNamara.“Organizational Culture” The Management Assistance Program for Nonprofits. (http://www.mapnp.org/library/orgthry/culture/culture.htm)
Depdiknas. 2001. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah; Buku 1 Konsep dan Pelaksanaan. Jakarta : Direktorat SLTP Dirjen Dikdasmen,
Jann E. Freed. et.al. “A Culture for Academic Excellence: Implementing the Quality Principles in Higher Education”. (http://www.ed.gov/databases/ERICDigests/ed406962.html).
Joan Gaustad. “School Discipline” (http://eric.uoregon.edu/publications/ digests/digest078.html). ERIC Digest 78. December 1992
John P. Kotter. & James L. Heskett, 1998. Corporate Culture and Performance. (terj Benyamin Molan). Jakarta: PT Prehalindo.
Idochi Anwar dan Yayat Hidayat Amir,. 2000. Administrasi Pendidikan : Teori, Konsep & Issu, Bandung : Program Pasca Sarjana UPI Bandung.
Larry Lashway. “Ethical Leadership”. ERIC Digest. Number 106. June 1996. (http://eric.uoregon.edu/publications/digests/digest107.html ).
Moh. Surya .1995. Nilai-Nilai Kehidupan (makalah) . Kuningan : PGRI PD II Kuningan h. 3-8
Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta : Depdiknas,
Stephen Stolp. Leadership for School Culture. ERIC Digest, Number 91. Tahun 1994 (http://www.ed.gov/databases/ERIC_Digests/ ed370198.html).
Taliziduhu Ndraha. 1997. Budaya Organisasi. Jakarta : PT Rineka Cipta,
Van Peursen. 1984. Strategi Kebudayaan. (terjemahan Dick Hartoko). Jakarta: Yayasan Kanisius,